Senin, 07 Agustus 2017

War for the Planet of the Apes (2017) ~ Review Film

Sebelum menonton, jika melihat kata "War" di judul ditambah dengan materi promo yang menekankan pada karakter Sang Kolonel-nya Woody Harrelson, skenario yang kemungkinan besar bermain di benak kita adalah film ini akan menjadi ladang pertempuran habis-habisan antara kaum manusia yang dikomandoi Kolonel melawan kaum kera yang dipimpin si raja kera, Caesar (Andy Serkis). Namun ternyata filmnya tak berjalan sesuai dugaan. Judulnya bilang WAR for the Planet of the Apes, tapi film ini lebih kepada DRAMA for the Planet of the Apes. Namun, sungguh sebuah drama yang fantastis.

Benar, kita melihat perang frontal antara keduanya, tapi hanya di 15 menit awal. Benar, terjadi perang besar-besaran di babak ketiga, tapi resolusinya ditutup dengan momen, yang takkan admin Movie Mania ungkap detilnya, yang bisa dibilang antiklimaks jika dipandang dalam konteks summer blockbuster konvensional. Adegan aksinya spektakuler, tapi film ini bukan digerakkan oleh spectacle dan aksi, melainkan lebih character-driven. "Perang"-nya lebih intens berkecamuk dalam batin masing-masing karakter.


Hal terbaik dari sebuah blockbuster adalah saat ia menjadi lebih dari sekedar spectacle blockbuster. Seperti film sebelumnya Dawn of the Planet of the Apes yang menyentil isu ras dan politis, sutradara Matt Reeves menambahkan alegori soal perbudakan dan bobot emosional mengenai revolusi dan penebusan. Sebagai wadahnya, Reeves meminjam beberapa aspek dari beberapa film perang ikonik semacam Platoon atau Apocalypse Now sampai The Great Escape. Film dibuka dengan sekompi tentara memakai helm bertuliskan slogan anti-kera yang siap menyergap kawanan kera di tengah hutan tropis. Kita kemudian akan menyaksikan aksi gerilya hingga pemberontakan, tapi secara subversif, merasakan konflik internal yang kompleks, terlepas dari pihak manapun yang anda pilih; entah sisi manusia atau kera.

War for the Planet of the Apes memposisikan kita untuk cenderung berada di pihak kera, namun akankah anda membela those damn dirty apes? Sudah 15 tahun berlalu sejak Flu Simian mewabah. Caesar hanya ingin menjalani hidup yang damai tapi terlibat ke dalam perang gara-gara manusia yang menolak hidup berdampingan dengan mereka. Kaum kera menyepi ke hutan, tapi tetap diburu oleh pasukan paramiliter. Puncaknya saat Sang Kolonel menyerbu koloni mereka dan merenggut kera terdekat Caesar.

Sekarang Ceasar dikuasai oleh amarah dan hasrat balas dendam. Caesar menyuruh kawanannya untuk mengungsi, sementara ia berniat melakukan perjalanan untuk menemukan markas Kolonel. Bersamanya, ikut serta tangan kanannya Rocket, Luca si gorila, serta Maurice si orangutan. Ada karakter baru dalam wujud Bad Ape (Steve Zahn) sebagai penyedia humor (yang terkadang garing) demi membuat film ini tak terlalu depresif. Yang kedua adalah anak manusia manis (Amiah Miller) yang bisu karena mengidap wabah Simian. Ia menjadi anggota kawanan kera saat Maurice memutuskan untuk mengajaknya ikut dalam perjalanan.

Aroma tematis soal perbudakan dan revolusi menguar kuat dalam film. Kolonel diceritakan merekrut beberapa kera untuk menjadi anak buah. Kera "pengkhianat" yang dilabeli dengan nama "keledai" ini bahkan tak ragu untuk menghajar sesamanya. Ketika tertangkap, Caesar menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kaumnya di-kerjapaksa-kan untuk membangun sesuatu yang akan membuat Presiden Trump bangga: sebuah tembok raksasa — meski tujuannya disini bukan untuk mencegah masuknya eksodus dari Meksiko, tentu saja.

Film ini menampilkan lebih banyak lagi kera dibandingkan film sebelumnya, karena narasi ditilik dari perspektif mereka. Efek spesialnya mengagumkan seperti biasa, tapi kawanan kera bukan lagi sekedar efek spesial. Mereka sekarang adalah makhluk hidup yang bisa berpikir dan beremosi. Film ini membuat kita melewati fase dimana kita tak lagi memikirkan bagaimana para penyihir efek spesial me-render gambar. Kita tak pernah meragukan eksistensi dan kapabilitas spesies yang kemungkinan akan menyingkirkan superioritas manusia ini. Mereka begitu realistis hingga admin Movie Mania tak merasa konyol saat melihat kera menenteng senapan atau mengendarai kuda atau melakukan keduanya sekaligus. Ini bisa jadi atraksi topeng monyet yang bagus, tapi admin Movie Mania baru kepikiran hal ini saat sedang menulis review ini.

Andy Serkis kembali memberikan performa motion-capture yang dahsyat. Siapa bilang motion-capture bukan akting sungguhan. Serkis menampilkan gestur, ekspresi, dan dialog sebagaimana seorang aktor sahih. Dan Reeves begitu mencintai hal ini, ia seringkali membiarkan kamera menyorot wajah Caesar secara close-up. Kita melihat setiap kerut di wajahnya, menunjukkan emosi dan kedalaman perasaan. Woody Harrelson, yang botak, menjadi musuh bebuyutan yang karismatik. Ia menjadi semacam Kolonel Kurtz-nya Marlon Brando dari Apocalypse Now; tangguh, memegang prinsip ekstrim, dan punya pengikut fanatik. Namun ia juga punya alasan tersendiri atas kegilaannya tersebut.

Durasi film lumayan panjang karena di kebanyakan titik Reeves membiarkan momentum melambat mungkin untuk meyakinkan agar kita melahap bobot emosional sedalam mungkin. Filmnya terasa menegangkan, sendu, tapi tetap megah. Perjalanan moral dari Caesar mencapai titik kulminasi, sebagaimana kita pelajari dari film sebelumnya saat ia membunuh rekannya, Koba. Caesar arrives at the edge, and the film also takes us to the edge.

Filmnya juga terlihat dan terdengar fantastis. Bersama sinematografer Michael Seresin, Reeves menekankan pada penggunaan palet warna natural. Kita dibawa ke habitat alam yang imersif, mulai dari hutan tropis yang hijau hingga dataran salju yang putih. Komposisi gambarnya mantap. Dan scoring dari Michael Giacchino membuat setiap scene semakin intens.

Jika Movie Mania sudah menonton film orisinalnya, Planet of the Apes yang dirilis di tahun 1968, maka anda sudah tahu hasil akhir dari film War for the Planet of the Apes. Pertanyaannya, kepada siapa kini anda memihak? Kedua film tersebut menawarkan perspektif yang berbeda. Dan sungguh luar biasa bagaimana para pembuat film terakhir ini di satu titik bisa membuat kita begitu peduli pada para kera. Filmnya tak sekedar menjadi hiburan penuh efek spesial. Selagi Caesar berevolusi, filmnya juga berevolusi.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentarlah dengan baik...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More