Jumat, 18 Agustus 2017

Car 3 (2017) ~ Review Film

Sekarang kita sudah berada di film ketiga dari franchise Cars, jadi saya pikir kita semua sudah belajar untuk menerima kenyataan, terlepas dari pertanyaan kenapa di semesta ini mobil-mobil bertingkah layaknya manusia, kenapa tak ada manusia yang tampak apalagi yang mengendarai mobil, atau bagaimana bos Pixar, John Lasseter bisa punya ide untuk membuat film tentang mobil yang bisa bicara. Oh, atau kenapa traktor menjadi hewan ternak bagi mobil, padahal traktor juga termasuk mobil. Iya, itu konyol. Namun Cars 3 adalah film Cars yang next-level. Kali ini jagoan kita dihadapkan pada problematika yang relevan dimana ia harus merengkuh masa lalu untuk bisa mengalahkan tantangan masa depan di dunia balap mobil.

Saya senang saat tahu bahwa Pixar kembali menempatkan Lightning McQueen (Owen Wilson) di jalur fitrahnya: trek balap. Meski di beberapa titik cukup menikmati kekonyolan McQueen dkk beraksi di dunia mata-mata dalam Cars 2, saya tak bisa menghilangkan perasaan bahwa itu bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan McQueen. Lebih senang lagi ketika mendapati bahwa Cars 3 akhirnya merapat ke jalur Pixar, sort of; menyajikan kisah yang meyampaikan pesan yang bermakna yang akan membuat kita kepikiran sembari menonton. Ada sesuatu mengenai penerimaan diri dan adaptasi terhadap perubahan yang mengalir dengan subtil, namun filmnya tetap simpel dan ceria.

Lightning McQueen sekarang sudah menjadi legenda balap, dimana ia melesat di arena melewati pesaingnya sembari meledek mereka. Siap untuk menjadi yang pertama sampai di garis finis, tapi tunggu dulu — ia hanya berada di podium kedua. McQueen dikalahkan di saat-saat terakhir oleh mobil mewah, canggih, generasi terbaru bernama Jackson Storm (Armie Hammer). Giliran McQueen yang diledek karena ia adalah produk lama yang sudah ketinggalan jaman. Pembalap di generasi Storm bisa berlari di kecepatan 320 km/jam tanpa kesulitan, sementara McQueen hanyalah mantan jawara bermesin tua.

Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Tidak juga, karena McQueen siap menggeber mesinnya lebih keras. Naasnya, dalam sebuah sekuens yang spektakuler, ia mengalami kecelakaan parah. Ia pulang kandang ke Radiator Spring. Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Masih belum, karena McQueen mendapat satu kesempatan terakhir dari sponsor barunya, konglomerat bernama Sterling (Nathan Fillion). Sterling adalah penggemar berat McQueen, tapi ia juga seorang pebisnis. Jadi ia membuat kesepakatan: jika kalah, McQueen harus pensiun dan siap menjadi duta endorsement dari produk mobil milik Sterling.

Cars 3 adalah soal jaman yang sudah semakin berkembang dan bagaimana attitude kita terhadapnya. Tetap statis dan tak berubah tidaklah cukup, karena kita akan ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri. McQueen tahu harus beradaptasi, tapi ia tak begitu siap untuk mencoba alat simulator yang disediakan di fasilitas canggih milik Sterling. McQueen memutuskan untuk melakukannya dengan “cara lama”, yaitu langsung turun ke jalanan yang penuh lumpur dan kerikil. Literally.

Film ini adalah debut bagi animator dan storyboard artist veteran di Pixar, Brian Fee. Fee menyajikan animasi yang detail dan, saya yakin, tetap sangat menarik bagi anak-anak. Sekuens latihan balap di pantai yang sangat cerah, misalnya. Kontras dengan itu, McQueen bergelap-gelapan (karena berlumur lumpur dan waktunya adalah malam hari) saat ikut dalam adu mobil semacam kontes Crush Gear bagi Cars. Adegan flashback juga membawa kita melihat footage jadul saat mentor McQueen, Doc Hudson balapan di sirkuit tanah.

Di fasilitas pelatihan, McQueen mendapat pelatih Cruz (Cristela Alonzo) yang penuh semangat, namun kerap memperlakukannya sebagai mobil jompo, alih-alih legenda hidup. McQueen membawa kabur Cruz untuk ikut dalam pelatihan “cara lama”-nya, tapi Cruz tak sedemikian kompeten dalam hal balapan berkotor-kotoran. Perlahan-lahan, saya mulai heran akan apa yang ingin dituju film ini. Di satu titik, saya merasa McQueen-lah yang mengajari Cruz. Dan akhirnya menjelang balapan akhir, semua menjadi jelas: adaptasi bagi McQueen tak seperti yang saya duga. Klimaksnya yang tak bisa dibilang super-emosional tapi sampai dengan memuaskan ini, relatif mengejutkan untuk ukuran film yang ditujukan khusus untuk anak-anak.

Tanpa bermaksud untuk mengungkap poin penting, film ini adalah mengenai guru dan murid. McQueen butuh mentor tapi Doc sudah tiada. Karakter yang diisikan suaranya oleh mendiang Paul Newman ini hanya muncul dalam flashback, tapi krusial dalam membawa narasi film. McQueen pergi ke kampung halaman Doc, kemudian bertemu dengan mentor Doc, Smokey (Chris Cooper), dan di satu momen yang menarik, juga bersua dengan para mantan legenda balap yang sedang nongkrong. Sementara itu, hubungan McQueen-Cruz semakin mirip dengan hubungan Doc-McQueen. Ternyata Cruz sendiri juga bermimpi menjadi pembalap, tapi ia tak percaya diri di industri ini. McQueen pribadi tak bisa lagi hanya bergantung pada kejayaan masa lalu, ia harus melesat ke depan.

Cars 3 adalah film yang ringan tapi berisi, dan tak terbatas untuk anak-anak (atau orang dewasa dengan semangat anak-anak) saja. Dengan durasi yang singkat dan plot yang sederhana, pacing-nya mantap. Pelajarannya mungkin akan lebih beresonansi bagi orang dewasa, tapi saya takkan komplain karena saya memang tak hanya sekedar ingin melihat mobil saling ber-bruum-bruum ria sampai durasi berakhir. Memang tak ada bagian yang akan membuat saraf emosi anda trauma sebagaimana beberapa film luar biasa Pixar, tapi saya tak pernah sefokus dan se-enjoy ini menonton film-film Cars.

Catatan: Cars 3 dibuka dengan film pendek berjudul Lou, tentang seorang tukang bully sekolah yang akhirnya mendapat pelajaran. Pesan moralnya sangat bagus, tapi tak secerdas Sanjay’s Super Team dalam bercerita.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentarlah dengan baik...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More