Kamis, 24 Agustus 2017

The Hitman's Bodyguard (2017) ~ Review Film

The Hitman’s Bodyguard adalah sketsa dari sebuah film aksi-komedi yang lebih bagus. Saya bisa membayangkan film yang lebih berkesan jika penggarapannya lebih baik. Ada momen komedik yang membuat kita ngakak dengan tulus, ada momen aksi lebay yang sensasional, dan ada penggunaan lagu “Hello”-nya Lionel Richie yang mungkin paling tak cheesy sepanjang masa, namun filmnya kurang menggigit karena hanya sedikit kepedulian untuk membuat karakternya lebih menarik daripada stereotype yang sudah kita kenal.

Terkadang kita bisa membaca film hanya dari casting-nya saja. The Hitman’s Bodyguard memasangkan Ryan Reynolds dengan Samuel L. Jackson, dua aktor yang identik dengan peran cerewet bermulut kasar. Ini akan jadi buddy movie yang vulgar. Mereka akan membuat membuat gerah satu sama lain dalam lelucon yang blak-blakan. Tentu saja, kita bakal mendengar banyak kutipan “B**ch please” atau “motherf***er” yang merdu saat keluar dari mulut Samuel L. Jackson. Anda pikir ini film apa?


Reynolds bermain sebagai Michael Bryce, mantan bodyguard kelas AAA yang kehilangan kredibilitas saat salah satu kliennya yang sangat berpengaruh tewas di depan matanya. Bryce masih mencari nafkah di bidang profesi ini dan bisa dibilang masih cukup kompeten, namun kelas sosialnya sudah begitu anjlok sampai ia harus tinggal dan buang air di mobil pribadi yang katanya baunya seperti keringat lansia.

Jackson menjadi Darius Kincaid, pembunuh bayaran legendaris yang nyaris tak bisa dibunuh, yang katanya sudah membantai sampai 150 orang. Kincaid sekarang sudah tertangkap, dan akan dibawa oleh Interpol dari Manchester menuju Mahkamah Internasional di Den Haag. Namun bukan untuk diadili, melainkan menjadi saksi kunci bagi kejahatan perang yang dilakukan oleh Vladislav Dukhovich (Gary Oldman), diktator sebuah negara totaliter di Eropa Timur. Sebagai imbalan atas testimoninya, Interpol akan membebaskan istri Kincaid, Sonia (Salma Hayek).

Pemindahan ini awalnya dikoordinasi oleh agen Amelia Roussel (Elodie Yung), tapi mengingat reputasi Kincaid dimana semua orang ingin membunuhnya, khususnya antek Dukhovich, maka timbul kekacauan di tengah jalan. Hanya Bryce yang bisa mengantar Kincaid, karena ada pengkhianat di tubuh Interpol. Lagipula Bryce adalah mantan pacar Amelia, jadi Amelia seharusnya bisa percaya dia kan? Anda tahulah, tidak semua mantan itu buruk.

Di film seperti ini, kita perlu Bryce dan Kincaid untuk saling membenci. Bahkan, mereka sebenarnya adalah musuh bebuyutan. Kincaid katanya sudah 28 kali hampir membunuh Bryce. Dengan begini, kita akan mendapatkan banyak adu mulut, saling mengerjai atau melempar sumpah serapah, sembari mereka berkeliling Eropa menghancurkan mobil, merusak fasilitas umum, menghamburkan peluru, membunuhi penjahat, atau menghindari ledakan. Dan tentu saja, dalam perjalanan, mereka akan belajar untuk saling menghormati.

Film ini memakai formula buddy movie yang populer di era 80-an, yang sudah teruji sejak lama dan terlalu sering dipakai. Yang akan membedakan adalah seberapa jauh chemistry karakternya dan seberapa seru perjalanan mereka. Dalam kasus ini, The Hitman’s Bodyguard tak pergi kemana-mana. Hubungan mereka setengah matang; kita tak sedemikian peduli dengan karakter mereka kecuali karena diperankan oleh bintang top sekelas Reynolds dan Jackson. Obrolan curhat mereka tentang pasangan masing-masing sangat membosankan. Pembuat film tak bisa menawarkan sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang pertama kali terlintas di benak kita saat membaca dua nama aktor tadi di bagian pembuka.

Reynolds mendapat peran sebagai “yang waras” dalam formula; seorang profesional yang mengutamakan misi, punya prinsip untuk tak membunuh kecuali terpaksa, dan punya akal sehat sehingga frustrasi saat melihat kekacauan terjadi. Bertolak belakang dengannya, Jackson adalah “yang gila”, hobi membantai orang dan candu dengan kekacauan. Yang membuat leluconnya mengena bukan karena bobot humor atau pengaturan situasi komedi yang pas, melainkan karena delivery mereka yang jago. Keduanya adalah pakar dalam comedic-timing, dan film ini berhutang banyak pada mereka.

Film ini digarap oleh Patrick Hughes, dan surprisingly, sekuens aksinya lebih menghibur daripada yang dia suguhkan di The Expendables 3. Set-pieces-nya komikal, seringkali menentang hukum Fisika, dan mungkin karena bujet, tampak murahan di beberapa adegan. Dua sekuens yang paling sensasional adalah adu jotos yang dilakukan Reynolds di toko perkakas yang tampaknya diambil dalam satu take, serta adegan kejar-kejaran di kanal Amsterdam yang melibatkan boat, sepeda motor, dan mobil yang terjadi secara simultan. Konyol seperti kedengarannya, tapi juga seru setengah mati. Namun Hughes tak bisa menekankan sense of geography-nya. Kebanyakan adegan aksinya disorot dengan quick-cut yang sulit dicerna, mungkin efektif untuk pertarungan jarak dekat tapi tak demikian dengan sekuens aksi yang berskala lebih besar.

Filmnya cukup menghibur di beberapa waktu, tapi saya merasa ia kurang greget secara keseluruhan. Penggarapannya nanggung. Film aksi-komedi yang bagus punya dinamika dan energi yang mantap sehingga penonton tak merasa jemu saat para karakternya saling menembak terlalu banyak atau melawak terlalu panjang. Ini akan membosankan saat tak dilakukan dengan benar. Ada bagian dalam The Hitman’s Bodyguard dimana karakternya tertawa keras seperti dibuat-buat dengan durasi yang sedikit dipanjangkan, seolah ingin memastikan apakah kita sudah tertawa atau belum. B**ch please. Filmnya lucu saat tak berjuang keras melucu. Saya lebih memilih adegan flashback saat Kincaid pertama kali jatuh hati pada Sonia yang sadis-tapi-romantis. Tak ada karakter yang tertawa di layar, tapi penonton di belakang saya sampai tersedak.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentarlah dengan baik...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More